Pada suatu sore yang cerah, ada seorang Tuna Netra yang datang berkunjung ke rumah salah seorang sahabatnya. Dia berjalan selama 15 menit untuk bisa tiba di rumah sahabatnya yang jaraknya kurang lebih 100 Meter dari rumahnya.
Setelah bertemu, mereka asyik bercanda gurau dan bertukar cerita, singkat cerita akhirnya sang Tuna Netra tersebut pun pamit ingin balik pulang. Waktu pada saat itu, ternyata sudah menunjukkan pk. 19.00. Sahabat Tuna Netra itu pun berkata: Baiklah jika kamu mau pulang mari sini saya antar yuk balik ke rumah.
Sang Tuna Netra pun berkata: “Ah tidak perlu, apa aku tampak seperti orang lemah yang tidak mandiri dan tidak berdaya? Sehingga perlu dibantu? Hahaha… Ga usah, aku bisa pulang sendiri.”
Sahabatnya pun menjawab: “Baiklah, ini ada lentera yang sudah aku nyalakan. Kamu pulang bawa ini ya.”
Tuna Netra: “Aneh, kamu apa gak salah? Aku ini kan Tuna Netra, untuk apa lampu penerangan buat aku? Buat aku, siang, malam sama aja. Lagian aku sudah mengenali seluk beluk jalan, aku gak akan jatuh lah sekalipun jalanannya gelap gulita sekalipun.
Sahabatnya kembali berkata: “Cobalah untuk berpikirnya tidak begitu. Kamu harus ingat bahwa di jalanan banyak pengendara motor. Kamu ke sini mengenakan baju hitam, celana hitam, orang lain mana bisa melihat kamu ditengah kegelapan. Bisa-bisa kamu kena tabrak nanti.”
Ya kisah seperti di atas itu banyak terjadi. Di jalan kadang kita bisa melihat, ada saja motor yang nekad, yang dikendarai pada malam hari tanpa lampu depan dan lampu belakang. Itu kalo ditegor, dia bilang. Ah ga apa-apa lah, mata aku kan masih bagus seperti elang, aku bisa melihat dalam kegelapan malam. Kok Ngaturrr...!!!
Padahal masalah utamanya adalah bukan soal si pengemudi motor itu yang matanya hebat dan bisa melihat dalam kegelapan malam atau tidak. Namun yang jadi masalah adalah orang lain yang mengendarai kendaraan lain susah untuk melihatnya. Dan itu sangat berbahaya.
Berbahaya untuk si pengendara motor tersebut? Menurut saya itu tidak mengapa, karena dia memang meningkatkan risiko untuk diri sendirinya. Tapi dia itu bisa mencelakakan orang lain yang tidak aware. Itu bukan masalah untuk si pengemudi motor yang nekad itu. Itu masalah untuk orang lain.
Si pengemudi motor yang tidak menggunakan lampu itu tidak mempunyai empati terhadap orang lain.
Bagaimana dengan orang yang tidak mau memakai masker? Dia pasti berpikir bahwa ini badan… badan aku, mau sakit mau tertular apa urusannya sama kamu? Saya tau yang terbaik untuk diri saya. Padahal ide menggunakan masker itu bukan hanya untuk keamanan diri orang itu saja. Namun masker itu menunjukkan bahwa kita adalah orang yang punya empati terhadap orang lain.
Jika kita menggunakan masker. Orang lain akan merasa aman dan nyaman, mereka akan merasakan terproteksi dan terlindungi. Ini adalah bentuk rasa empati pada orang lain. Jadi menggunakan masker itu bukan hanya sekedar untuk kepentingan diri sendiri.
Belum lagi berbicara bahwa menggunakan masker itu adalah program pemerintah. Mengapa kita tidak mau kompak, bahu membahu untuk menunjang program pemerintah. Kalo penyakit Covid-19 ini bisa diisolir dan ditangani dengan baik. Bukankah kita juga yang akhirnya menikmati hasilnya?
Jadilah individu-individu yang punya rasa empati untuk membangun bangsa kita yang kuat. Tunjukkan rasa “CARE” dan “EMPATI” kita pada orang lain. Tunjukkan rasa respek / hormat kita pada orang lain dan pemerintah dengan mendukung usaha-usaha baik demi kebaikan kita Bersama. Walaupun terkadang kita tidak puas dengan beberapa kebijakan pemerintah ya sudah mari berbesar hati dan tetap kita dukung.
Jangan hanya berpikir tentang diri kita sendiri. Jangan Egosentris.
Kita memasuki sebuah peradaban yang disebut “Emphatic Civilization” pertama kali diperkenalkan oleh Jeremy Rifkin di tahun 2010. Di zaman di mana dunia begitu banyak krisis, kita memang memasuki peradaban empati dimana kita harus punya naluri dan kepekaan untuk “CARE” dan “EMPATI” pada orang lain. Jangan Egois atau Egosentris…
”No matter how great a person is… Egocentrism will annihilate that greatness.”
(Tina Panossian)